Selasa, Oktober 21, 2008

Bioteknologi Gelombang Ketiga, untuk Siapa?

Ketika bioteknologi modern "dilahirkan" pada tahun 1973 melalui transfer DNA di antara mikroorganisme, tak banyak yang mengira akan terjadi kemajuan yang sangat pesat 32 tahun kemudian. Melalui riset yang panjang dan mahal, para ilmuwan di negara maju berhasil meningkatkan dan terus menyempurnakan penggunaan bioteknologi dalam proses manufaktur, sintesa kimia, dan produksi.
Bioteknologi dalam bidang industri—yang oleh para ilmuwan dan para CEO di perusahaan- perusahaan industri disebut bioteknologi "gelombang ketiga"— tak hanya menjanjikan ekonomi berbasis bioteknologi, tetapi juga solusi terhadap tantangan lingkungan dan energi yang dihadapi pada abad ke-21.
BIO 2006 Annual International Convention Ke-11 berlangsung di McCormic Place Convention Center, Chicago, AS, tanggal 10-13 April 2006 dihadiri sekitar 16.000 orang dengan sekitar 180 seminar dan 20 program pendidikan, dengan 1.000 pembicara mencakup lebih dari 200 topik di bidang bioteknologi, termasuk 225 presentasi perusahaan-perusahaan berbasis bioteknologi dari seluruh dunia.
Juga digelar pameran dengan sekitar 1.600 perwakilan dari lebih 30 negara dan seluruh negara bagian di AS yang melibatkan lembaga-lembaga riset negara dan swasta. Indonesia, Kamboja, dan Vietnam di ASEAN tidak mengirimkan wakilnya.
Pencapaian besar
Seperti dikemukakan Jim Barber, CEO Metabolix; Leendert Staal, Presiden DSM Amerika Utara; Steen Riisgaard, Presiden dan CEO Novozymes; dan Dennis McGrew, Presiden dan CEO NatureWorks; bioteknologi merupakan pencapaian terbesar dalam sejarah manusia. Bioteknologi mengubah dunia secara sangat cepat di bidang kesehatan, pangan, pertanian, energi, dan spektrum yang luas dari industri.
"Jenis makanan saat ini menyebabkan banyak orang mengalami obesitas dan menimbulkan banyak penyakit berbahaya. Maka, makanan merupakan persoalan kunci bagi konsumen yang semakin sadar akan pentingnya kesehatan," ujar Leendert Staal seraya memaparkan produk-produknya yang terkait dengan makanan dan kesehatan.
Sementara Steen Riisgaard, yang menyatakan perusahaannya sebagai perusahaan terkemuka dunia berbasis bioteknologi dalam enzim dan mikroorganisme, menjelaskan bagaimana proses bioteknologi mengubah jagung menjadi produk makanan sehat, bahan pembuat plastik, etanol pengganti bahan bakar minyak, bahan pakaian, dan lain-lain.
"Presiden Bush mengatakan, tahun 2025 AS harus mengganti 75 persen bahan bakar minyak dengan etanol supaya tidak tergantung pada Timur Tengah," ujarnya dalam seminar From Food…to Fuel…to Fashion: Industrial Biotechnology Does It All.
Industri berbasis bioteknologi diyakini merupakan industri masa depan dengan posisi produk dan hasil yang jauh lebih baik, yakni sekitar 20 miliar dollar AS dalam dua tahun dengan lebih dari 60 produk yang disetujui The Food and Drug Administration (FDA).
"Industri berbasis bioteknologi telah mencapai tingkat kematangan dalam memproduksi terapi-terapi yang baru dan unik serta obat-obatan yang lebih efektif," ujar Jim Greenwood, Presiden Organisasi Industri Bioteknologi (BIO). Organisasi itu mempunyai 1.100 anggota di seluruh dunia, termasuk korporasi-korporasi transnasional, seperti Cargill, DuPont, BASF, dan lain-lain.
Bukan jawaban
Meski berbagai pencapaian yang dipaparkan begitu mengesankan, hiruk pikuk BIO 2006 Annual International Convention sebenarnya tidak menjawab banyak persoalan di dunia.
Riset tentang penyakit dan pangan selalu merupakan topik yang hangat. Penyakit seperti kanker, diabetes, dan penyakit jantung merupakan "pembunuh utama" di negara maju, dan lebih dari 85 persen riset yang dilakukan di lembaga-lembaga riset swasta ditujukan untuk mendapatkan solusinya.
Sebaliknya, riset untuk tiga "pembunuh utama" di negara berkembang, yakni malaria, tuberkulosis (TB), dan AIDS, tidak banyak mendapatkan perhatian seperti halnya di BIO 2006. Padahal, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, 40 persen penduduk dunia terancam malaria, 80 persen anak terinfeksi parasit malaria di berbagai wilayah di Afrika. Hanya sekitar 20 persen penderita TB mendapatkan pengobatan berkualitas baik dan 30 persen orang muda di 22 negara berkembang tidak pernah mendengar tentang AIDS dan bagaimana virus HIV ditularkan.
Statistik menunjukkan, setiap tahun 800.000 anak meninggal karena malaria, dua juta orang meninggal karena TB, dan tiga juta meninggal karena AIDS. Ini masih ditambah dengan penyakit-penyakit demam seperti demam berdarah yang menimpa 50 juta orang dan mengancam 2,5 juta lainnya, khususnya di kota-kota besar yang padat di negara berkembang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memprakarsai Global Fund untuk memerangi penyakit-penyakit itu. Akan tetapi, penyakit-penyakit itu sebenarnya bisa dikurangi secara global kalau disediakan dana sekitar 40 miliar dollar AS bagi pendidikan dasar untuk semua, air bersih dan sanitasi, kesehatan reproduksi untuk perempuan, dan pelayanan kesehatan dasar serta gizi.
Bandingkan dengan pengeluaran untuk kosmetik, konsumsi es krim, parfum, makanan binatang peliharaan, bisnis hiburan, rokok, minuman beralkohol di AS, Eropa, dan Jepang, belanja narkotik dan belanja militer di dunia yang seluruhnya mencapai 1,4 triliun dollar AS.
"Persoalan di negara berkembang sama sekali berbeda dengan persepsi korporasi," ujar Rodrigo Restrepo, wartawan dari Colombia. "Kita memang perlu mengetahui kemajuan bioteknologi dunia, tetapi yang banyak dipaparkan di BIO 2006 sebenarnya bukan untuk kita."
Jadi, bagaimana ia melihat BIO 2006?
Ia menjawab dengan nada getir, "Seperti science fiction!" (MH)
________________________________________
sumber : Kompas, Kamis, 13 April 2006

Tidak ada komentar: